CONTERPEDIA - Pemandangan itu terlihat pada salah satu gerai di ajang pameran Agenda Show 2018 di Long Beach Convention Center, California, Amerika Serikat. Agenda Show adalah pameran fesyen streetwear dunia yang diikuti tak kurang dari perwakilan 50 negara. Lelaki kurus berkulit putih yang terlihat kerepotan menata barangnya itu adalah Vincentius Aditya, salah satu punggawa merek Paradise, dari Indonesia.
Adit mengungkapkan, usahanya tersebut sudah dimulai sejak empat tahun lalu, bersama seorang teman yang bekerja di bidang yang sama pada perusahaan retail fesyen. "Lalu kami berdua mengagas ini, membuat kaus dan mulai memasarkannya di Australia saat itu," kata Adit. Usaha sampingan kedua pemuda ini ternyata berkembang pesat, hingga kini mereka menambah formasi inti menjadi empat orang. "Karena kami dua-duanya orang desain, jadi butuh juga orang yang tahu soal menata keuangan dan pemasaran," ungkapnya.
Meski belum genap berumur empat tahun, usaha para pemuda yang kini terpilih menjadi salah satu brand lokal yang dibawa Badan Ekonomi Kreatif ( Bekraf) ke pameran di AS, sungguh terbilang sukses. Bahkan, Adit mengaku, sebelum ambil bagian dalam seleksi yang digelar Bekraf, sebenarnya mereka pun sudah mendapat undangan langsung dari panitia Agenda Show, pada tahun-tahun sebelumnya.
Adit dan satu rekannya merancang desain untuk produk yang akan mereka pasarkan. Sementara, penjahitan dibuat oleh pihak ketiga, demikian pula dengan proses printing. Jadi, kaus yang selesai dijahit akan diperiksa untuk ditentukan apakah layak secara kualitas. Setelah itu, barulah dikirim untuk proses printing. "Balik dari printing lalu kita periksa lagi. Soalnya dulu ada seller dari Jepang yang teliti sekali dengan kualitas. Bukan bolong, ada sisa benang aja mereka reject," ungkapnya. "Dulu waktu pertama, kiriman kita 30 persen di-reject sama mereka," tambah Adit. Dari situlah, kini Paradise menerapkan dan menjaga standar kualitas, dan terbukti mampu berkembang ke pasar manca negara.
"Harga kami untuk kaus itu 35 dollar AS per buah (sekitar Rp 500 ribu)," kata Adit. "Kalau di pasar lokal, mungkin harga segitu belum bisa diterima ya, ya meski kami tetap menjual sebagian di pasar lokal dengan sistem bagi hasil, dengan harga Rp 350 ribu." "Pembeli di Indonesia masih mikir, ah mendingan gue beli merek terkenal, tinggal nambah dikit." "Padahal di luar negeri, orang-orang punya pride kebangsaan kuat banget, kenapa di Indonesia enggak bisa ya?" tutur dia. Atas alasan itu pula, Paradise tak terlalu getol memasarkan produk kemeja mereka yang harganya mencapai Rp 1,2 juta per lembar.
ML.
No comments:
Post a Comment